10 October 2025
Coba ingat kembali, apa konten pertama yang Anda lihat saat membuka aplikasi media sosial seperti Instagram, X, atau Facebook? Apakah unggahan tersebut dari teman dekat atau justru video viral dari akun hiburan yang bahkan tidak Anda kenal? Saat teman membagikan foto, video, ataupun momen pribadi lainnya, apakah Anda masih sempat meninggalkan komentar atau sekadar memberikan like lalu lanjut scroll ke bawah?
Sekarang, coba bandingkan berapa banyak akun teman yang Anda ikuti dibandingkan dengan akun influencer, selebriti, atau kreator konten? Dan yang tak kalah penting, berapa kali konten iklan yang muncul dibandingkan dengan unggahan pribadi dari teman Anda? Di tengah arus konten viral, promosi produk, dan video hiburan, tanpa disadari dinamika media sosial saat ini sudah berbeda..
Dulu, media sosial hadir sebagai ruang untuk bersilaturahmi. Netizen menggunakan Facebook, Instagram, atau berbagai platform lainnya untuk mengunggah foto keluarga, curahan hati, atau sekadar menyapa teman lama. Namun, seiring waktu, fungsinya telah bergeser. Kini, media sosial lebih sering digunakan sebagai konsumsi massal seperti mencari hiburan, berbelanja, berbisnis, atau menyimak berita viral.
Rutinitas pengguna pun berubah drastis dan sebagian besar netizen cenderung lebih sering menggulir layar, memberikan like, dan langsung berpindah ke konten berikutnya tanpa banyak interaksi. Komentar biasanya muncul hanya pada konten yang viral atau kontroversial. Fenomena ini menandai pergeseran besar dari era user-generated content for friends menjadi creator-generated content for public. Akibatnya, interaksi sosial yang dulunya lebih personal kini semakin berkurang dan digantikan oleh dinamika yang lebih komersil dan berbasis popularitas.
Pergeseran fungsi media sosial tidak terjadi begitu saja dan ada berbagai faktor yang mendorong perubahan ini. Salah satunya adalah perubahan algoritma di hampir semua media sosial yang kini lebih memprioritaskan konten dengan engagement tinggi seperti video lucu, konten viral, ataupun opini kontroversial.
Alhasil, unggahan dari teman atau keluarga tidak banyak ditampilkan karena dianggap kurang menarik dibandingkan dengan konten yang diunggah oleh selebriti, brand besar, dan influencer. Tujuan utama medsos bukan lagi mempererat relasi, tetapi membuat pengguna betah dan terus menggunakan medsos dalam waktu yang lama.
Hal ini semakin terlihat dengan semakin banyaknya netizen yang ingin menjadi kreator konten dan terlibat dalam attention economy, di mana perhatian masyarakat dapat menjadi mata uang yang berharga. Di sisi lain, semakin mudahnya beriklan di medsos semakin mendorong pergeseran fungsi medsos dari tempat mengobrol menjadi ladang cuan.
Perubahan ini bukan sekadar asumsi dan sudah dibuktikan. Menurut data yang dihimpun Meta pada tahun 2023-2025, rata-rata waktu yang dihabiskan pengguna untuk melihat konten unggahan teman menurun tajam dari 22% menjadi 17% di Facebook. Di Instagram, angka ini menurun dari 11% menjadi 7% dalam periode yang sama.[1]
Kemudian, studi yang dilakukan oleh Pew Research Center pada tahun 2020 menunjukkan bahwa hanya 25% pengguna yang aktif mengunggah konten di TikTok, sementara sisanya hanya menjadi penonton pasif. Twitter pun menunjukkan tren serupa dan hanya 10% pengguna yang menghasilkan 92% dari seluruh konten yang ada.[2]
Bahkan di Inggris, survei yang dilakukan oleh The Guardian pada tahun 2024 menunjukkan bahwa medsos lebih sering digunakan untuk berdiskusi politik.[3] Bahkan, Mark Zuckerberg sendiri pernah menyatakan social media is over karena perubahan tren ini.
Perubahan ini terntunya menghadirkan peluang baru di bidang komunikasi dan public relations atau yang sering kita sebut dengan singkatan, PR. Dalam menghadapi trend baru ini, ada beberapa strategi ataupun pendekatan yang bisa kita terapkan agar tetap relevan.
Di era digital yang serba cepat, konten visual seperti foto, infografis, dan video singkat menjadi elemen utama dalam menarik perhatian audiens. Netizen kini memiliki rentang perhatian yang semakin pendek dan cenderung menghindari artikel yang terlalu panjang dan penuh teks. Konten visual mampu menyampaikan pesan secara instan dan emosional, itulah sebabnya platform seperti TikTok, Instagram Reels, dan YouTube Shorts mengalami lonjakan popularitas dalam beberapa tahun terakhir.
Bagi tim komunikasi dan PR, penting untuk memahami bahwa kekuatan visual tidak hanya terletak pada estetika, tetapi juga pada relevansi dan kecepatan. Konten yang mengikuti tren terkini, dikemas dalam format yang menarik, dan mampu memicu rasa penasaran atau emosi audiens akan lebih mudah mendapatkan perhatian dan engagement.
Untuk itu, dibutuhkan tim yang memahami trendi dunia maya, memiliki kemampuan visual storytelling, dan menguasai aplikasi media editing seperti Photoshop, Adobe Illustrator, Canva, hingga aplikasi yang sering digunakan para influencer seperti CapCut atau Premiere Pro. Melatih karyawan agar mampu membuat konten visual secara mandiri tak hanya menghemat biaya produksi, tetapi juga merupakan investasi jangka panjang agar mereka lebih agile dan adaptif dalam merespons isu dan momen yang sedang hangat.
Beberapa minggu lalu, saya sedang scrolling di Instagram dan menemukan sebuah reel yang cukup menarik dan membuat saya tertawa. Tanpa berpikir panjang, saya memberikan like dan mengetap profil akun tersebut karena penasaran.
Yang mengejutkan, ternyata konten tersebut diunggah oleh sebuah bisnis toko roti bernama Tadaima Bakehouse yang saat itu memiliki lebih dari 180.000 pengikut. Beberapa reels-nya mampu mencatatkan jutaan views, bahkan ada satu konten yang tembus hingga enam juta. Ini menjadi bukti bahwa humor memiliki kekuatan untuk menarik perhatian, sekaligus memperluas jangkauan brand secara organik.
Tren ini sejalan dengan perubahan perilaku pengguna medsos yang kini mencari hiburan. Dalam konteks ini, humor berperan sebagai jembatan untuk menjangkau audiens tanpa kesan hard-selling, terutama jika dikemas secara kreatif dan sesuai dengan karakter brand.
Namun, bukan hanya humor yang penting—interaksi juga memainkan peran besar. Konten yang mendorong audiens untuk berpartisipasi aktif, seperti menjawab pertanyaan atau memberikan saran, terbukti mampu meningkatkan engagement.
Contohnya adalah SorrelSouls, seorang Youtuber asal Amerika yang membuat kerajinan tangan berbentuk kodok unik. Ia rutin bertanya kepada pengikutnya, “What should I make next?”, sehingga para penonton merasa dilibatkan dan menjadi bagian dari proses kreatifnya. Hasilnya? SorrelSouls membangun komunitas yang loyal, memiliki lebih dari 900.000 follower, dan produknya selalu laris terjual.
Bagi praktisi komunikasi dan pemilik brand, pendekatan ini bisa diadaptasi dalam strategi konten dengan cara menggabungkan elemen hiburan dan partisipasi. Dengan begitu, brand tak hanya tampil menarik, tetapi juga terasa dekat dan relevan di mata audiens. Pendekatan ini tak hanya untuk bisnis kecil atau kreator individu, tetapi juga untuk brand besar.
Dalam lanskap digital yang semakin ramai, kemampuan untuk mendengarkan jauh lebih penting daripada sekadar berbicara. Inilah alasan social media listening menjadi alat yang sangat penting bagi praktisi komunikasi.
Listening bukan hanya sekadar memantau tren, tetapi juga memahami percakapan audiens secara real-time dan apa saja topik yang sedang dibicarakan, dikeluhkan, atau didukung oleh netizen. Dari sini, kita bisa menemukan insight yang sangat bernilai, mulai dari preferensi konten hingga sensitivitas terhadap isu tertentu.
Namun lebih dari itu, social media listening seharusnya bukan hanya digunakan untuk mengamati, tapi juga untuk berpartisipasi. Hal ini dapat membantu agar kita lebih memahami sudut pandang netizen ataupun duduk permasalahan dalam trend yang sedang terjadi.
Dengan memiliki pemahaman yang cukup , brand dapat ikut berdialog secara relevan, tepat waktu, dan mengangkat sudut pandang yang tepat sehingga mendapatkan apresiasi dan simpati masyarakat, bahkan lebih mudah membangun kepercayaan.
Misalnya, ketika ada topik hangat yang viral atau momentum budaya tertentu (seperti konser besar, perayaan lokal, atau peristiwa nasional), brand bisa masuk ke percakapan tersebut dengan nada yang sesuai baik secara informatif, lucu, atau emosional selama disampaikan sesuai dengan konteks dan tidak terkesan memaksakan.
Di Inke Maris & Associates, kami memiliki divisi digital communications bernama IMPRESI Digital Communications yang dibentuk khusus untuk menganalisis tren media sosial dan menjalan komunikasi strategis secara online berdasarkan kebutuhan klien. Didukung dengan tools dan tim yang andal, kami menyediakan data yang tidak hanya informatif, tetapi juga bisa ditindaklanjuti secara strategis.
Ke depannya, media sosial akan terus berubah. Fungsinya akan bergeser yang awalnya menjadi tempat bersosialisasi, kini menjadi konsumsi massal yang lebih memprioritaskan konten viral dan influencer, serta didorong oleh algoritma yang lebih mementingkan engagement. Namun, bagi praktisi komunikasi, ini menjadi peluang baru dan kita harus mampu adaptasi mengikuti perubahan tren. Kita perlu mengubah pendekatan, dari yang awalnya sekadar mempublikasikan konten, sekarang berfokus membangun relasi. Dalam hal ini, humor, interaksi, konten visual, dan kemampuan untuk mendengarkan percakapan digital akan menjad kunci utama agar tetap relevan.
Sekarang, kita harus mempertanyakan diri sendiri. Apakah kita masih menggunakan medsos untuk membangun hubungan? Atau hanya sekadar mengejar follower? Atau akankah kita mengikuti tren? Mari mulai mengevaluasi kembali pendekatan kita dalam penggunaan medsos dengan menerapkan strategi yang lebih autentik dan dapat menarik audiens.
By Armand Maris & the Inke Maris Digital PR Team
#IMPRESIDigital #SurveiMedsos2025 #SocialMediaIsNotSocial #KomunikasiDigital #DigitalPR #AttentionEconomy #PerilakuNetizen #PasifDiMedsos #StrategiKonten #KontenVisual #SocialMediaListening
For more information or to talk to us please email: [email protected] or via WhatsApp: +62 816 210 028 (Text Only)
[1] https://www.dazeddigital.com/life-culture/article/66690/1/social-media-is-no-longer-social-meta-instagram-tiktok
[2] https://www.americansurveycenter.org/newsletter/how-social-media-made-us-less-social/
[3] https://www.theguardian.com/politics/article/2024/jun/24/news-mainstream-social-media-consumption-changes-uk-election
5 Elemen Kunci Mengelola Krisis : Siapkah Anda Menghadapi Krisis dengan Komunikasi Tepat?
READ MOREMendorong Perubahan: Kendaraan Listrik Sebagai Simbol Gaya Hidup Berkelanjutan di Indonesia
READ MORENavigating Indonesia's Business Landscape: The Vital Role of Public Affairs Professionals
READ MORETrailblazing Paths: Unconventional Strategies in Indonesian Presidential Campaigns
READ MORE