CSR-Corporate Social Responsibility - Tanggung Jawab Sosial Korporasi Di Indonesia Kini | Inke Maris & Associates

VIEWS

CSR-Corporate Social Responsibility - Tanggung Jawab Sosial Korporasi di Indonesia


 

CSR...

Corporate Social Responsibility (CSR) sudah menjadi isu penting di Indonesia dalam dua dekade terakhir. Dalam hal ini, salah satu isu kontroversial ialah bagaimana pelaksanaan CSR dapat diregulasi. Apakah sebaiknya diregulasi negara, code of conduct, atau swa-regulasi? Problema dalam membedakan kerangka regulasi CSR wajib (mandatory) dan CSR sukarela (voluntary) juga timbul di Indonesia karena penerapan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas serta UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal di Indonesia yang mengatur pelaksanaan CSR wajib(mandatory).

Pasal 15 UU No. 25 Tahun 2007 menyebutkan bahwa perusahaan harus menerapkan corporate social & environmental responsibility. Pasal tersebut dapat menimbulkan dua pemahaman yang berbeda. Pemahaman pertama; adanya kewajiban bagi setiap perusahaan untuk menjalankan CSR. Pemahaman kedua; kewajiban itu melekat pada semua perusahaan dan seluruh sektor usaha tanpa terkecuali. Setelahnya, timbulah persoalan pro dan kontra. Layaknya persoalan umum, media pun kemudian masuk dan hal ini menjadi ajang perdebatan.

Ketika suatu persoalan dimediasi dari ranah sosial ke ranah media, perpindahan tersebut tidak hanya sekadar transfer pesan. Media tak hanya berperan sebagai saluran komunikasi, tetapi juga sebagai aktor yang memiliki motivasi tertentu dibalik pesan yang ditulis dalam beritanya. Sebagai aktor, media juga memiliki kemampuan untuk mempengaruhi opini atau pendapat masyarakat.

Persoalan menarik di sini adalah pemberitaan media massa mengenai pro dan kontra CSR di Indonesia pada saat itu. Dapat dipahami bahwa media massa tak hanya bertindak sebagai saluran komunikasi semata, tetapi memiliki motivasi dibalik pemberitaannya.

Posisi media saat membahas pro dan kontra CSR berpotensi memengaruhi pendapat publik. Hasil penelitian menunjukan bahwa media memandang regulasi CSR sebagai kebijakan yang keliru karena tidak sejalan dengan konsep CSR yang ada selama ini; bahwa “pengusaha” sudah menjalankan praktik CSR. Dengan kata lain, pengusaha sudah sadar dan peduli akan CSR tanpa perlu diatur oleh regulasi tertentu.

Ada pula yang berpendapat bahwa kebijakan untuk meregulasi CSR merupakan upaya pemerintah untuk mengalihkan tanggung jawab menyejahterakan rakyat kepada pengusaha. Negara tidak peduli terhadap beban yang dipikul oleh pengusaha atau bagaimana kebijakan CSR dapat merusak iklim investasi di Indonesia. Puncaknya adalah adanya penolakan terhadap upaya pemerintah untuk meregulasi CSR.

Pemerintah juga dikritik karena tidak sensitif terhadap beban yang dialami oleh para pengusaha. Dalam pandangan umum media, para pengusaha sudah memiliki kesadaran tersendiri untuk melaksanakan kegiatan CSR jauh sebelum adanya kebijakan untuk meregulasi CSR. CSR dilihat sebagai konsep ”morality” yang dalam pelaksanaannya tergantung dari kesadaran dan kerelaan orang yang mau memberi.

Pertentangan konsep CSR disebabkan karena adanya kekaburan definisi kata tersebut. Definisi CSR menurut UUPM (Undang-Undang Penananan Modal) berbeda dengan UUPT (Undang-Undang Perseroan Terbatas). Menurut UUPT, pelaksanaan CSR juga ditambahkan unsur kewajiban lingkungan. Menurut temuan penelitian ini, implikasi sosial-ekonomi akibat ketidakpastian hukum CSR adalah timbulnya kekhawatiran dari para pengusaha terkait kemungkinan penyalahgunaan UUPT oleh oknum-oknum pejabat daerah yang bertujuan untuk mendongkrak pendapatan daerahnya.

Awalnya:

Undang-Undang Perseroan tahun 2007 mewajibkan setiap badan usaha yang bergerak dalam kegiatan yang melibatkan penggunaan sumber daya alam atau berkaitan dengan bahan alam wajib melaksanakan kegiatan CSR atau Tanggung Jawab Sosial perusahaan. Di sinilah awal kemunculan pro dan kontra serta perdebatan lainnya.

Pada awal tahun 2007, kesimpang siuran tentang konsep CSR di Indonesia bermuara pada bagaimana seharusnya penerapan CSR yang ideal; apakah CSR merupakan sebuah kewajiban (mandatory) atau kesukarelaan (voluntary)?

Hadirnya beberapa regulasi seperti UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dirasa tidak memberikan solusi atas permasalahan yang ada dan justru semakin memperlebar perdebatan ini. Ironisnya, media massa di Indonesia yang seharusnya hadir sebagai saluran komunikasi yang netral dalam kesimpang siuran juga ikut terlibat dalam perdebatan dan secara terang-terangan berpihak pada salah satu posisi dari dua kubu yang saling bertentangan ini.

Pasal tersebut kontras dengan Pasal 74 UU No. 40 tentang Perseroan Terbatas yang hanya menuntut perusahaan dalam sektor tertentu atau yang berkaitan dengan sumber daya alam untuk menerapkan kegiatan CSR. Dalam pasal ini, CSR disebut sebagai ‘kewajiban perusahaan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya operasional perusahaan’.

Dengan kata lain, perusahaan dalam kategori ini berkewajiban untuk mengalokasikan dana pelaksanaan CSR dan dana itu dapat dianggap sebagai biaya korporasi. Kegagalan atau kelalaian melaksanakan kewajiban ini akan dikenakan sanksi. Sedangkan CSR dalam pemahaman UU Penanaman Modal tidak menyebut adanya bentuk sanksi bagi sebuah perusahaan atas kelalaian atau kegagalan melaksanakan CSR yang memang selama ini dipahami secara populer sebagai sesuatu yang sukarela (voluntary).

Maka wajarlah apabila Pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007 menuai reaksi keras dari berbagai pihak. Pada saat masyarakat sipil menyoroti kewajiban penerapan CSR, para pengusaha lebih menyoroti dampak CSR terhadap biaya operasional dan tingkat daya saing. Alhasil, polemik seputar penerapan Pasal 74 UU No. 2007 sempat dilakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).

Uji materi di Mahkamah Konstitusi sebagai respon dari para pengusaha diwakili oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin). Uji materi tersebut mempertanyakan legalitas Pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007 yang dilihat bertentangan dengan Pasal 28 D (1) UUD 1945 (menyangkut kepastian legalitas), Pasal 28 1 (2) tentang diskriminasi, dan Pasal 33 (1) tentang efisiensi keadilan ekonomi.

Menurut pihak penggugat, Pasal 74 UU. No. 25 Tahun 2007 dinilai menciptakan ketidakpastian hukum, sangat bertolak belakang dengan semangat CSR yang pada prinsipnya bersifat sukarela (voluntary), dan cenderung diskriminatif terhadap kelompok usaha kategori tertentu. Pada akhirnya, penerapan pasal tersebut memberikan beban tambahan bagi kelompok usaha tertentu dan membawa dampak negatif terhadap perekenomian secara umum.

Namun, Mahkamah Konstitusi pada bulan April 2009 memutuskan bahwa Pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas sudah tepat. Artinya, ketentuan yang ada dalam pasal tersebut tidak diskriminatif, sudah adil, dan tidak melanggar konstitusi. MK juga menyatakan CSR adalah sebuah konsep yang fleksibel dan bebas untuk ditafsirkan oleh setiap negara.

“Dengan alasan ini, ‘sifat wajib’ CSR itu sudah sesuai dengan kondisi ekonomi, sosial, dan hukum di Indonesia. MK menambahkan bahwa sifat wajib tersebut menjadi kepastian bagi CSR sukarela, melihat bagaimana lemahnya sistem penegakan hukum di Indonesia.”

Para hakim MK juga mengajukan bahwa Pasal 74 tidak diskriminatif terhadap bidang usaha kategori tertentu karena didasarkan pada potensi risiko kerusakan yang ditimbulkan oleh tindakan korporasi terhadap sumber daya alam dan lingkungan. Oleh karena itu, lanjut MK, adalah wajar dan logis apabila perusahaan yang membawa dampak bagi sumber daya alam juga wajib menanggung bebannya.

Alasan dibalik hadirnya Pasal 74 UU Perseroan Terbatas terkait sifat mandatory CSR yang dibebankan pada perusahaan adalah karena banyaknya perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia dan lepas dari tanggung jawabnya dalam mengelola lingkungan.

Pengalaman menunjukkan bahwa banyak sekali perusahaan yang hanya melakukan kegiatan operasional tetapi kurang memberikan perhatian terhadap kepentingan sosial. Beberapa contohnya adalah lumpur Lapindo di Porong, konflik masyarakat Papua dengan PT Freeport Indonesia, konflik masyarakat Aceh dengan Exxon Mobile yang mengelola gas bumi di Arun, dan sebagainya.

Alasan lainnya adalah kewajiban CSR sudah diterapkan pada perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Perusahaan-perusahaan BUMN wajib memberikan bantuan kepada pihak ketiga dalam bentuk pembangunan fisik. Kewajiban itu diatur dalam Keputusan Menteri BUMN maupun Menteri Keuangan sejak tahun 1997. Oleh karena itu, perusahaaan yang ada di Indonesia harus turut serta memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan di tempat perusahaan itu beroperasi.

Disamping itu, tren globalisasi menunjukan bahwa kegiatan lingkungan sudah menjadi hal yang mendesak bagi umat manusia. Di Inggris dan Belanda, CSR menjadi sebuah penilaian hukum oleh otoritas pasar modal selain penilaian dari publik.

Perusahaan yang tidak pernah melakukan CSR justru memiliki kinerja saham yang cenderung menurun dalam bursa saham.

Konsep CSR di Amerika Serikat yang dikemukakan oleh Friedman berbeda dengan yang diterapkan di negara-negara Eropa, termasuk yang dianut oleh Indonesia dalam UU PT dan UU PM. Friedman, sebagai ekonom kenamaan Amerika dan peraih Nobel bidang Ekonomi tahun 1976, memandang bahwa tanggung jawab bisnis adalah memaksimalkan laba (maximaize profits) untuk kepentingan pemilik atau pemegang saham (Lako, 2011: 40).

Konsep CSR yang dikemukakan oleh Friedman merupakan kritikan atas konsep CSR klasik yang sebelumnya diterapkan oleh para pengusaha di Amerika. Menurut Andrew Carnegie (1835-1919) dalam bukunya berjudul “The Gospel of Wealth,” konsep CSR berdasarkan pada dua prinsip yaitu charity (kemurahan hati) dan stewardship (melayani sesama).

Maksud Charity adalah masyarakat yang lebih beruntung dituntut untuk membantu masyarakat lainnya yang kurang beruntung, seperti pengangguran, difabel, korban bencana alam, dan lansia.

Sementara maksud stewardship adalah para pengusaha dan masyarakat lain yang mampu harus berperan sebagai steward (pelayan) atau carataker atas kekayaan yang mereka miliki untuk membantu masyarakat lain.

Titik Balik CSR Di Amerika Serikat. Akibat krisis keuangan yang menimpa banyak perusahaan di AS pada tahun 1940an hingga 1960an, konsep CSR klasik dari Carnegie telah ditinggalkan oleh para pengusaha dan dikritik habis oleh para ekonom, termasuk oleh Friedman.

Lewat bukunya berjudul Capitalism and Freedom (1963), Friedman mengkritik konsep CSR klasik Carniegie dan mengatakan:

...ada satu dan hanya satu saja tanggung jawab perusahaan, yaitu menggunakan sumber daya dan energi yang dimiliki dalam berbagai aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan laba selama berada dalam batas-batas aturan main (rules of game)...., dan melakukannya secara terbuka dan bersaing secara bebas tanpa tipu-muslihat. Penggunaan sumber daya dan energi yang dimiliki perusahaan untuk memenuhi tanggung jawab sosial hanya akan membebani pemegang saham, karyawan, dan pelanggan (Lako, 2011: 41).

Friedman berpandangan bahwa tugas utama para pengusaha adalah menghasilkan barang atau jasa secara efisien yang dibutuhkan masyarakat dengan harga yang terjangkau dan berkualitas.

Barang dan jasa itu, jika laku terjual, akan mendatangkan modal yang besar bagi para pengusaha. Dengan modal tersebut, mereka dapat membuka atau memperluas bisnis yang pada akhirnya membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Inilah wujud tanggung jawab pengusaha bagi masyarakat.

Namun, ketika kita merujuk pada substansi pasal 74 UU PT tersebut, konsep CSR justru dipandang sebagai aktivitas wajib yang harus diterapkan oleh pengusaha di Indonesia (meskipun hanya untuk sektor usaha tertentu) atas eksploitasi lingkungan, modal sosial, dan modal ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan. Perbedaan pemahaman inilah yang mendatangkan pro dan kontra terkait konsep CSR, baik sebelum hadirnya regulasi, saat dibahasnya regulasi, dan hingga saat ini ketika regulasi tersebut sudah diberlakukan.

Wacana seputar kontroversi dibalik pelaksanaan CSR di Indonesia yang sebelumnya voluntary dan kini menjadi mandatory pasca lahirnya UU No. 40 Tahun 2007 (UU Perseroan Terbatas) turut diberitakan oleh media massa tanah air. Media massa ikut dalam produksi dan reproduksi pemberitaan menyangkut permasalahan CSR. Dalam konteks ini, penelitian ini akan mencoba menguak wacana yang ada dalam pemberitaan media massa terkait dengan polemik CSR tersebut.

Peran Mediasi Ranah Sosial Media

Ketika suatu persoalan dimediasi dari ranah sosial ke ranah media, perpindahan tersebut tidak hanya sekadar transfer pesan. Media tak hanya berperan sebagai saluran komunikasi, tetapi juga sebagai aktor yang memiliki motivasi tertentu dibalik pesan yang ditulis dalam beritanya. Sebagai aktor, media juga memiliki kemampuan untuk mempengaruhi opini atau pendapat masyarakat. Melalui pemberitaan secara berkala, media dapat membentuk pandangan masyarakat untuk suka atau tidak suka, pro atau kontra terhadap suatu permasalahan.

Dalam rangka pembentukan opini publik, media massa umumnya melakukan strategi pengemasan (framing) dan menentukan agenda (agenda-setting). Penerapan strategi tersebut bisa jadi dipengaruhi oleh berbagai faktor internal seperti kebijakan redaksional mengenai persitiwa tertentu (polemik CSR) dan faktor eksternal seperti “tekanan” pasar pembaca atau pemirsa, sistem politik yang berlaku, dan kekuatan luar lainnya. Dengan demikian, sebuah peristiwa bisa menimbulkan opini publik yang berbeda-beda tergantung pada cara masing-masing media menerapkan strategi framing dan menentukan agenda (Hamad, 2004: 2).

Dalam konteks ini, realita yang diangkat terkait dengan pro-kontra tersebut tidak disajikan secara utuh, tetapi melalui tahapan konstruksi internal media yang kemudian disesuaikan dengan kepentingan ideologi, ekonomi, dan kebijakan redaksi dari media yang bersangkutan.

Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese (1996), dalam buku Mediating The Messages; Theories of Influences on Mass Media Content, menguraikan lima faktor media yang berpengaruh terhadap teks berita, diantaranya; 1) faktor individual; 2) rutinitas media; 3) organisasi media; 4) ekstra media; dan 5) ideologi.

Masalah CSR Indonesia

Berdasarkan dari begitu banyaknya masalah yang ditemukan, dalam konteks ini, pembahasan lebih lanjut diharapkan dapat menilik dan mengevaluasi secara kritis terhadap dampak dari sifat wajib CSR terhadap perilaku pengusaha, publik, dan pemerintah.

Setelah belasan tahun, perusahaan domestik dan asing di Indonesia merajalela dan menggunakan kuasanya di daerah pedesaan dan terpencil untuk menguras sumber daya alam. Setelahnya, mereka angkat kaki dan membawa segala keuntungan tanpa meninggalkan sesuatu yang bermanfaat bagi penduduk setempat.

Melihat fenomena di atas, semua perusahaan yang beroperasi di Indonesia dan pihak terkait lainnya sudah sepatutnya menyadari dampak yang terjadi dari kegagalan penerapan CSR. CSR menjadi sebuah tanggung jawab bersama yang seharusnya diterapkan secara efektif demi kualitas hidup yang lebih baik bagi seluruh masyarakat.

 

Author :

Rizal Maris,

Komisaris

Inke Maris & Associates

For more information or to talk to us please email: contactus@inkemaris.com

About Inke Maris & Associates
PR Agency Indonesia

Established in 1986, Inke Maris & Associates (IM&A) is a leading, independent PR Agency in Jakarta providing strategic counsel to businesses, organisations and public institutions. IM&A was recognised as the Best PR Firm in Indonesia  after a survey conducted by Mix Magazine to over 100 Indonesian journalists nominated the firm for the PR Agency of the Year Award 2016. As PR and strategic communications consultants, our work falls into overarching and often intersecting areas of Public Affairs, Corporate Communications, Financial Communications, Marketing Communications, Issues & Crisis Communications, Capacity Building & Training, Social Marketing & PR Campaigns, Community and Stakeholder Engagement, Digital PR, Event Management.

 RECENT NEWS